Search This Blog

Sunday, March 28, 2010

Tumb

Karena gw keasikan main main di Tumblr, gw jarng bet dah posting ke sini. hehe

Thursday, March 11, 2010

Rajawali Kampung

Ini tugas bahasa Indonesia pas bikin cerpen. Menurut lo gimana ceritanya? Menurut gue ga ada pesan moralnya. Bagian itu terlupakan Hehe ..

>>>

Malam itu Heru menunggu dengan khawatir. Ia tidak berani masuk ke kamarnya sendiri. Padahal ia selalu membanggakan kamarnya yang memang menjadi ruangan paling rapih yang ada pada rumahnya. Ia lebih memilih keluar, menengadah mencari terang dalam gelap. Sesaat kemudian, Bu Susi keluar dari kamarnya dan mengajaknya masuk. Sambil terbaring kulihat Heru masuk perlahan, lama-lama. Tampak di dalam seorang malaikat kecil di tangan orang tua Heru dan ia mencium pipi Ericka terlebih dahulu di tempat tidurnya. Malaikat itu terlihat merah dan rapuh. Heru mendekati bayi kecil itu menggendongnya. Aku melihatnya dengan berlinangan air di penglihatannya. Malam itu semua bahagia. Malam itu seakan malam terdamai yang pernah dirasakan. Malam itu Evan lahir.

Hari sudah siang dan aku masih berkutat di dapur. Meracik untuk kebutuhan nutrisi keluarganya dengan kasih sayang. Ia menunggu buah hatinya yang belum juga pulang belajar. Sesaat kemudian, ucapan salam Evan memecah keheningan. Aku keluar dan menyambutnya. Perlahan Evan masuk ke dalam rumah, melepas sepatunya dan mulai berganti sandang. Ibu membantunya merapikan ransel dan menyiapkan makan siang untuknya. Aku pun bergegas makan siang dan membiarkan ayahnya berkutat dengan sepedanya yang mengantar mereka tadi. Evan menyelesaikan makan siangnya dan kemudian lari keluar, meminta ijin untuk melepas penat di rumah Pakde. Ia meninggalkan rumah dan berlari riang meramaikan siang di Desa sepi ini. Siang ini memang terik panas, namun tak mampu melenyapkan semangatnya.

Evan menyapa Pakde di terasnya dan melangkah masuk ke gubuk itu. Di dalam kedua sahabatnya ceria menunggu teman sebayanya itu. Kakatua sopan mengucapkan salam dan dibalas dengan lambaian tangan kecil Evan. Pakde Rendra memang memelihara banyak burung. Evan suka melihatnya. Ia tak pernah lengah melihat seisi rumah. Selalu penglihatannya cermat memerhatikan sekelilingnya. Evan menyukai burung karena burung dapat terbang bebas melayang di angkasa. Bila besar nanti ia ingin sekali bisa terbang ke langit. Menyapa langit biru dan awan putih serta sahabatnya yang menyinari bumi dari kejauhan. Oleh karenanya ia selalu berkunjung setiap pulang sekolah hanya untuk melihat burung-burung peliharaan pakde terbang ke angkasa. Yang paling membuatnya terpesona adalah rajawali yang ada di belakang rumah, di sudut halaman rumahnya. Burung itu sangat besar dan terlihat gagah dengan mata tajamnya. Rajawali itu tak pernah dikurung dalam kandang. Ia hanya dilepas dan dibiarkan terbang sendiri, mencari pangan tak bertuan di hutan belantara. Rajawali itu tak pernah kabur walaupun tak pernah dikurung atau diikat. Rajawali itu selalu pulang kembali. Evan sangat senang melihat rajawali itu melayang. Evan sangat menyayangi burung Rajawali itu seperti ia menyayangiku. Rajawali itu seakan memberikannya inspirasi untuk hidup. Rajawali itu telah menjadi penyemangat dalam hidupnya selain Tuhan, aku dan Heru. Rajawali itu telah menginspirasi hidupnya.

Sama seperti rajawali itu, Evan tak pernah lupa untuk selalu pulang tepat waktu. Hanya siang berbeda, Evan pulang di tanpa keceriannya. Evan pulang dalam gendongan pakde. Lemas tak berdaya dan segera menurunkannya di tempat tidurnya. Aku hanya bisa sedih melihat putranya terdiam dalam kekosongannya di ranjang. Heru mencoba memanggil dokter dengan sepeda tuanya. Di desa itu terdapat Puskesmas di ujung jalan dekat rumah Pak Lurah. Segera Dokter Ani sampai ke rumah tanpa panik. Ia cekatan memeriksa Evan. Dokter masih tidak tahu penyebab Evan pingsan. Ia bertanya kepada Pakde tentang yang terjadi di rumahnya. Namun setelah mendengar penjelasan Pakde, Dokter belum bisa menerka gerangan yang terjadi. Kemudian ia memberikan beberapa obat-obatan untuk mengurangi rasa sakitnya. Dokter juga akan menetap di rumah hingga Evan sadar.

Lama juga menunggu Evan kembali ke kehidupannya. Saat itu sudah dua jam menunggu dan sekarang sudah sore. Evan bangun dengan mata sipit. Ia memperjelas pandangannya yang kunang-kunang dan melihat semua keramaian di kamarnya, tidak biasa baginya. Dokter segera memberinya minum dan menanyakan apa yang terjadi sebelumnya di rumah Pakde. Evan hanya menggelng dan balik bertanya tentang semua yang terjadi. Dokter pun menjelaskan semuanya dengan perlahan hingga Evan mengerti. Setelah Evan baikan, Dokter pun kembali ke rumahnya dan memberikan nomor teleponnya untuk keperluan mendadak nanti.

Sesampainya di rumah, Dokter Ani mencoba menerka apa yang terjadi. Ia menganalisis semua data yang didapatnya di Rumah Pak Heru. Lama-lama ia berpikir, berulang kali ia membuka buku dan ia menelepon ke rekan sejawatnya. Hingga ia menyadari Evan adalah seseorang yang perlu ia selamatkan.

Keesokan harinya, Heru menitipkan anaknya ke gurunya. Ia berpesan agar menjaga putranya sehubungan dengan kejadian kemarin. Orang tua Evan di sekolahnya itu pun berjanji untuk menjaganya. Heru pun pamit dan bergegas mengayuh ke tempatnya mencari nafkah.

Siang itu seperti biasa, aku kembali berada di dapurnya. Namun hari ini berbeda, ia masih teringat siang hari yang lalu. Ia memandang obat milik Evan yang tergeletak diatas meja di dekat dapur. Ia mencoba berpikir positif dan menghilangkan sedihnya. Tak sampai lama ia mendengar orang lain di luar rumah, mungkin ada tamu. Ia keluar untuk mengetahuinya dan mendapati Dokter Ani menunggunya di luar. Sepertinya ia akan memberitakan sebuah kabar untukku.

“Eh, Bu Dokter. Ada keperluan apa Bu Dokter? Evan masih di sekolah. Apakah ia tak diijinkan bersekolah?”, kucoba menerka maksud kedatangannya.

“Tidak, bukan itu maksud kedatangan saya. Evan boleh saja bersekolah, hanya saja jangan terlalu lelah.”, Jawabnya singkat.

“Lantas, ada keperluan apa? Apakah ada hubungannya mengenai Evan?”

“Ya. Semalam saya mencoba mencari tahu apa yang terjadi terhadap Evan. Ya, memang saya juga belum yakin terhadap temuan saya. Namun saran saya, sebaiknya Evan segera dibawa ke rumah sakit. Saat itu ia hanya pingsan biasa, mungkin terlalu lelah saja. Setelah sadar pun ia kembali ceria dan bersemangat. Makanya saya ijinkan dia untuk kembali ke sekolah dengan beberapa persyaratan.”, ujarnya panjang lebar.

“Hmm, baiklah. Saya akan membawanya ke rumah sakit nanti sore. Mungkin saya akan menumpang kendaraan milik Pak RT.”

“Baiklah, hanya itu saran saya. Semoga dapat membantu. Maaf mengganggu, saya pergi lagi ya bu.”

“Iya, terima kasih sarannya bu dokter. ”

Baru saja hendak kembali ke dapur, Evan talh kembali pulang. Aku pun bergegas menyambut mereka dan menanyakan keadaan Evan. Ia menceritakan apa yang diharapkan semua ibu, ia baik-baik saja. Evan segera masuk ke kamarnya, merapihkan peralatan sekolahnya dan bergegas makan siang. Setelah ia menyelesaikan makan siangnya, aku pun mengajaknya pergi ke rumah sakit di kota. Evan pun segera memakai jaket biru kesayangannya dan kami pun berangkat ke rumah Pak RT.

Sesampainya di rumah Pak RT, kami pun segera mengutarakan maksud kedatangan kami. Dengan senang hati Pak RT mengijinkan kami dan ia segera masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobilnya. Heru dan Pak RT mempersiapkan mobil yang akan digunakan. Sambil menunggunya, aku mengajak Evan untuk duduk di pelataran.

Aku dan Evan berbincang disitu. Ia bertanya tentang namanya Herucka Evan. Aku pun menjelaskannya. Herucka adalah gabungan namaku dan ayahnya, Heru. Sedangkan Evan diambil dari nama seorang pahlawan nasional, Mark Evan. Kemudian ia bertanya lagi mengenai tujuan kepergian kami. Ia bertanya tentang maksudku mengajaknya ke rumah sakit. Baru saja aku hendak menjawabnya, Heru memanggilku. Mobil sudah siap dan kami pun masuk ke dalam double cabin itu yang hanya cukup lima orang itu, pas untuk kami yang hanya bertiga ini. Setelah minta ijin ke Pak RT, kami pun melanjutkan perjalanan kami dengan mobil pinjaman.

Di jalan kami melihat-lihat pemandangan. Evan sangat suka jalan-jalan. Namun, siang itu membuatnya mengantuk dan tertidur. Tinggal aku dan Heru yang masih terjaga. Kami berdua pun mencoba berpikir positif, walaupun sebenarnya aku takut dengan kenyataan yang bakal terjadi nanti di rumah sakit. Aku tidak mau Evan mengidap penyakit apapun itu. Sekarang aku hanya bisa menenangkan diri dengan melihat pemandangn sekitar.

Di jalan, terlihat sebuah gedung besar bertuliskan ‘RS Kasih Sayang’. Itu artinya kami sudah sampai di tujuan. Heru memarkirkan mobil itu di bawah pohon besar. Kemudian kami pun turun sambil menggendong Evan yang masih terlelap. Aku segera melapor dan membiarkan Heru duduk di ruang tunggu dengan Evan dalam pangkuannya.

Tak sampai sepuluh menit menunggu di ruang tunggu, kami pun dipanggil masuk oleh seorang perawat. Perawat itu mengajak kami menemui Pak Dokter. Kami pun di persilahkan duduk dan berbincang sejenak dengan Pak Dokter yang bernama Rizal Setyo. Kubangunkan Evan yang masih tertidur lelap, ia akan segera di periksa. Evan pun diajak berbaring di ranjang kecil dan Dokter Rizal cekatan memriksa. Ia terlihat bercengkrama dengan Evan di ranjangnya dan tak lama kemudian Evan di persilahkan turun. Kemudian dokter menawarkan sebuah permen kepada Evan, ia mengangguk pelan Dokter Rizal kembali ke meja kerjanya dan menatapku serta Heru, lama-lama. Ia mengajak Heru keluar dan membiarkan aku duduk menjaga Evan. Tidak lama mereka bercengkrama di luar dan segera masuk kembali ke ruangan. Aku penasaran dengan pembicaraan mereka namun aku tak ingin tahu. Aku hanya berdoa pada Tuhan semoga Tuhan berbuat baik terhadapku dan Evan. Evan terlihat baik-baik saja. Heru menatapku, kemudian mengalihkan pandangan ke Evan yang sedang duduk makan permen sambil melihat akuarium di sudut ruangan. Heru menawarkanku untuk bergantian menjaga Evan. Aku pun menyerahkan Evan kepada Heru dan meninggalkan mereka. Dokter Rizal menarik nafas panjang dan mulai berbicara.

“Perlu ibu ketahui, ia mempunyai kelainan di otak. Saya belum tahu jenis kelainan ini, saya belum pernah melihat kelainan macam ini. Namun yang saya tahu, Evan dalam kondisi sangat memprihatinkan. Sebenarnya secara fisik, Evan sangat lemah. Namun keceriaan lah yang menguatkannya sehingga ia terlihat sehat-sehat saja. Penyakit ini tidak ada obatnya karena saya pun baru pertama kali meliha kelainan macam begini.”, jelas Dokter Rizal tenang.

“Tapi saya tidak memiliki biaya untuk melakukan perawatan disini. Bagaimana ini Dok?”, tanyaku perlahan.

“Tenang saja, kami tidak akan memungut biaya.”, Jelas Dokter.

“Terima kasih pak”

Setelah itu aku pun masuk kembali ke ruangan. Kulihat Evan dan Heru sedang bermain-main. Memang secara fisik Evan terlihat lemah. Loncatan Evan yang ceria tak setinggi biasanya. Aku hanya bisa duduk diam. Diam ku tak pernah terasa sebelumnya. Diamku adalah yang paling diam. Diamku diam tersenyum. Senyumku membuktikan kalau tangisku hanya dalam hati, hati yang terdiam.

Malam itu kami akan menginap di rumah sakit. Dokter Rizal menyarankanku untuk merawat-inapkan Evan. Hanya Heru yang pulang untuk mengambil keperluan-keperluan menginap keluargaku. Aku duduk di sebelah Evan yang sudah terlelap. Ingi sekali kupeluk dirinya, tapi aku takut dia terbangun. Aku pun akhirnya tertidur juga di sebelahnya.

Sinar mentari menembus kelopak mataku hingga ke saraf optik dan membangunkanku dari tidur panjang. Kulihat Evan sedang bermain dengan ayahnya di kasurnya, bermain catur. Aku pun bergegas mandi dan mengambil sarapan pagi yang ada di kantin rumah sakit. Aku mengambil makanan secukupnya. Khusus untuku yang kelaparan pagi ini, kuambil sedikit lebih banyak dari biasanya. Kemudian aku kembali ke kamar dan mendapati Pak RT, Pakde, dokter Ani, serta teman-teman Evan berada di kamar itu. Mereka semua hendak menjenguk Evan yang terbaring lemah. Mereka tertawa bercanda ria dan meramaikan suasana kamar itu. Evan pun terlihat sangat senang rasanya. Namun ada yang aneh, Evan berat mengangkat tangannya. Ia terlihat semakin lemah saja. Namun wajahnya tak pernah pucat atau terlihat lelah. Perilakunya yang menjadi agak diam menjadi bukti letih fisiknya. Biasanya ia tertawa sambil meloncat girang, tapi hari ini iya hanya tertawa dan mengubah mimik wajahnya saja. Saat di ajak melihat langit yang penuh dengan burung, kami baru menyadari kalau Evan sudah terlalu lemah hingga ia lumpuh. Ia tak mampu menggerakan kakinya. Tinggal kedua tangan kecilnya meronta-ronta menyeimbangkan diri. Perawat segera menyediakan kuris roda untuknya. Mereka pun membawa ke teras dan bersama melihat burung Rajawali dan Camar si Pakde yang mengangkasa. Aku hanya melihatnya dari dalam ruangan sambil membuat teh untuk mereka yang datang. Tak enak rasanya kalau aku tak menyuguhinya sesuatu. Apalagi Pak RT telah meminjamkanku mobil double cabin kesayangannya.

Malam itu kami sekeluarga melihat bintang di teras. Sambil meminum teh hangat, Heru bermain tebak-tebakan dengan Evan. Sesekali aku mencoba menebak tebak-tebakan Ayah Heru, namun aku lebih rajin menatap langit. Tak terbayang ini akan terjadi. Kemudian Evan memanggilku, Heru mendorong kursi Evan agar mendekat padaku. Lalu ia bilang,

“Mamah, aku ingin sekali terbang ke langit seperti rajawali kampung Pakde Rendra. ”, ucapnya. Diamku untuk sementara, lalu ku jawab,

“Mama juga ingin, tapi bagaimana caranya?”

“Naik pesawat aja!”

“Maw naik pesawat apa? Mama kan nggak ada ongkos..”

“Gimana ya? Aku juga nggak tahu tuh mah? Tapi aku kan nggak pernah naik pesawat. Sekali-kali kita naik pesawat dong!”, ia mencoba keberuntungan.

“Bisa sihh, tapi…”

Aku terdiam sejenak. Kulihat Evan tersenyum lucu diatas kursi rodanya yang ia maju-mundurkan. Aku akan mengajaknya naik pesawat!

“Bagaimana kalo kita minta tolong sama Om Kresna? Om Kresna kan pilot! Papa telpon Om Kresna dulu ya!”, Heru memberikan solusi.

“Yeeah! Papa baik dwehh! Sun dulu dong pahh!”, Evan girang. Heru menghampiri Evan dan mencium pipinya.

Aku senang melihatnya. Evan begitu bahagia dengan tawaran Heru. Heru pun segera pergi mencari jasa telepon dan meninggalkan kami berdua. Kulihat Evan diam memandang langit. Aku pun bertanya

“Eh Evan, di sekolah kamu ada yang kamu suka nggak?”, tanyaku iseng

“Ahh mama, mana mungkin lahh. Aku kan masih kelas 6 SD.”

“Yah, siapa tahu aja kamu lagi suka sama orang. Ya nggak? Nggak apa apa lagi, emang mama pernah ngelarang kamu suka sama orang? Siapa hayo, cerita sama mama! Svetz ya? Kayaknya kamu deket banget ama Svetz tuh.”

“Ahh mama, ada ada aja ahh. Nggak sama Svetz lagi!”, Evan memerah. Kami pun tertawa-tawa malam itu. Tak lama kemudian Heru pulang dan mengabarkan berita baik. Besok kita bisa naik pesawat. Menurut dokter Rizal, tubuhnya masih kuat untuk naik pesawat sehingga mengijinkannya. Aku pun mengajak Evan dan Heru tidur karena hari sudah malam.

Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali. Aku menyiapkan segala peralatan yang akan dibawa nanti naik pesawat. Setelah itu Heru bangun dan segera mandi. Ia menyiapkan mobil Pak RT dan memandikan Evan yang kesulitan mandi sendiri. Setelah semua siap kami sarapan terlebih dahulu dan segera masuk ke mobil untuk berangkat.

Di perjalanan, Evan tidak tidur seperti kemarin. Ia terlihat riang dan antusias. Untuk menjaga Evan, Dokter Rizal pun ikut bersama kami. Dokter Rizal duduk di depan di sebelah Heru yang sedang mengendarai sedangkan aku di belakang bersama Evan. Heru dan Dokter bercengkrama mengenai politik. Mereka asik mencari solusi-solusi terbaik untuk negeri ini juga berbincang mengenai kurs mata uang mereka yang sangat tinggi. Mereka bangga dengan negeri ini.

Di tengah jalan kami melihat sebuah pesawat melintas. Itu sudah menandakan kalau mereka sudah dekat dengan tujuan. Memang mereka sudah sampai dan disambut oleh Gapura Selamat Datang dan patung Rajawali di depannya.

“Rajawalinya si Pakde tuh ma!”, Evan bergurau. Semua pun tertawa lepas.

Kami turun di Lobby Bandara itu dan menunggu Om Kresna, sedangkan Heru mencari tempat parkir untuk mobilnya. Om Kresna datang dan membawa kami berempat menuju ruang ‘Flight Operations’. Disana kami disuruh duduk dan menunggu pesawat disiapkan. Sebenarnya pesawat milik Pelita Air itu akan disiapkan untuk mengantar orang-orang PT. Pertamina, pihak yang mencarter pesawat ini. Pesawat ini berangkat dari Bandara Mark Evan menuju ke Bandara El J’adore. Di Bandara El J’adore pesawat ini akan disewa oleh PT. Pertamina tadi.

Ada sekitar tiga puluh menit kami duduk di ruang ini, hingga Pak Kresna mengajak kami naik ke pesawat. Kami berjalan pelan menuju pesawat. Di bandara yang kecil ini ada dua pesawat. Keduanya pesawat Dash-7 yang notabene pesawat kecil juga. Kami pun langsung naik ke pesawat setelah mengabadikan momen sejenak. Evan terlihat sangat gembira sekali dan tersenyum sangat lebar, Membuatku tenang setenang-tenangnya.

Pesawat itu segera lepas landas dan kami pun cepat sampai ke ketinggian yang tinggi. Cukup untuk membuat Evan tersenyum selebar-lebarnya. Ia sangat suka pemandangan di langit itu. Lama rasanya tak jumpa senyuman semanis itu. Ia mengamati awan dengan riang dan langit biru. Ia bernyanyi dan bergurau bertemu Rajawali si Pakde. Ia menghitung awan-awan yang ada. Ia berteriak melihat kota yang mungil dari ketinggian. Girang sekali dia. Dia melihat matahari tersenyum padanya dan camar si Pakde melambai padanya. Sungguh tenang melihatnya seperti itu. Hingga saatnya pesawat untuk mendarat, Ia masih riang. Ia benar-benar puas telah melihat langit yang sedemikian indahnya. Ia pun turun dari pesawat dengan kekuatan penuh sambil dituntun olehku dan Heru. Setelah itu, ia kembali ke kursi rodanya. Kami pun ditinggal sebentar oleh pak Kresna yang mengantar pekerja PT. Pertamina ke tempat kerjanya.

Sambil menunggu Pak Kresna, kami berbincang di Ruang Flight Operations di bandara itu. Aku dan Heru berlutut di hadapan Evan dan tertawa-tawa mengenai tadi di pesawat. Kemudian ia mendekat ke aku dan Heru kemudian memeluk kami. Kami pun memeluknya erat. Ia sangat senang bisa terbang melampui rajawali kampung si Pakde.

“Terima kasih pah, mah. Aku sayang mamah papah.”, ucapnya agak lemah

“Sama-sama dek. Kami juga sayang sama Evan”, ucapku dan Heru kompak. Kemudian ia tertidur tenang dalam pelukanku dan Heru, sangat tenang. Tak ada yang menitikan air mata. Semuanya menjadi tenang dan damai. Ia terlihat tersenyum bahagia dengan wajahnya yang lucu. Ketenangan yang tak pernah terasa dalam hidupku. Seperti di tengah danau tak berombak, yang hanya terdengar gemercik air. Dalam dekapan pelukannya, benar-benar sunyi rasanya. Semakin erat kupeluk Evan dan Heru, agar kedamaian menyelimuti kami semua. Aku dan Heru tak menangis. Kami hanya tersenyum untuk Evan, seperti Evan tersenyum untukku dan Heru dalam tidurnya yang tenang, selamanya.

The Sentillers .. (the victim of ICP)

Hari ini 24 februari 2010 cowo-cowo X-7 semakin menggila. Apalagi sejak anak-anak ICP mulai aktif menambah kesuraman suasana membuat suasana kelas makin dingin dan sejuk rasa vanilla (gw kurang suka coklat). Kontribusi anggota ICP dimulai dengan nonton menonton di jam pertama, biologi.

Aksi 1 Ulah ICP »>

Gara-gara Bu Tri kagak bisa ngajar karena keperluan pribadinya, bowo yang bawa laptop langsung ngajak nonton naruta shipuden episode 101-104. Lumayan seru lahh, tapi bikin gw dan lainnya jadi lupa ngerjain tugas dari Bu Tri, hehe. Eh, si Sasuke tadi mati ampe 2 kali loh! Untung ada temen-temennya, kalo gag mati dia…

Aksi 2 ulah ICP »>

Saat itu kelas kosong lagi kosong lagi. Bowo ngajak nonton film pembantaian orang-orang nazi. Filmnya tuh seerem pisan bahh! Yang namanya orang digebukin pake tongkat, itu gag di sensor dan dibiarkan ceceran darahnya seakan-akan menampar muka kita. Suer dah rada mual gw.. Orang dikulitin kepalanya kagag disensor, bahkan di zoom.. Yang cewe pada protes gilee… An***

Aksi 3 ulah ICP »>

Lagi-lagi kelas kagag ada gurunya. Kitapun berinisiatif nonton drag me to hell. Emang sih gue ga sanggup ngeliat tuh film lebih lama, Najis tralala!! Mendjiedjiekan pisan bahh! Yang namanya muntahan nenek tua masuk ke mulut orang lain. Jiahhh…. Udah pasti yang cewe pada anteng dibalik matanya yang tertutup lembaran sensor di tangannya.

Aksi 4 ulah ICP »>

Karena penggunaan alat-alat elektronik seperti laptop dan kawannya sudha mulai membosankan, cowo-cowo pun mulai bergairah menyentil-nyentil. Suer dah, dibalik tampang mesumalim cowo X-7 ternyata semuanya maho. Hobinya nyentil-nyentil ##### ! Mereka semua berkumpul di belakang kelas dan melihat kesempatan diantara cowok-cowok yang lengah dan siap dibantai. Dimulai dari si Alfin, dia dikunci lengannya sama Fajri dan para sentillers langsung melakukan aksinya. The master Randika langsung mengeluarkan jari tengahnya yang berotot dan melakukan penyerangan. Setelah Alfin, kemudian Cowo-cowo laen mulai saling mengeroyok. Pengkhianatan pun mulai terjadi. Semua orang mulai saling mengkhianati dan menyentil. Sakit pisan euy, pas gua dikeroyok untung bisa lari. Paling kenceng tuh sentilan Randi. behhh…