Search This Blog

Friday, February 11, 2011

Tugas Cerpen

Yah seperti judul diatas, baru saja gw bikin ini cerpen masih fresh. Tugasnya sih suruh bikin 200 kata dan itu sangat melelahkan. Tapi setidaknya gw bangga udah bikin cerpennya sendiri. Cihui ! Check this out :


Mobil Ayah di Pinggir Sawah

Pagi itu aku sedang sarapan. Aku iri melihat teman temanku yang sudah masuk ke pre-school. Hanya aku dan Claudia saja yang belum masuk pre-school. Yang benar saja? Padahal aku lah yang paling tua diantara mereka. Pikiran itu terus memenuhi pikiranku sampai habis sarapanku.
           
“Andre, ayah mau pergi kerja nih ! Berangkat ya !”
           
Aku mendekati asal suara itu dan kemudian mencium tangan ayah. Setelah itu kutemani ayah sampai ke depan rumah untuk melihatnya pergi. Kantor ayah memang tidak terlalu jauh sehingga ia memilih untuk naik kendaraan umum daripada mengendarai mobil sedan miliknya.
           
Kemudian aku kembali masuk kedalam rumah. Aku lihat ibu sedang asik mencuci pakaian di ruang belakang. Aku bergegas ke ruang televisi untuk bermain video game. Tapi baru saja akan ku nyalakan video game-nya, aku melihat kunci mobil sedan ayah yang ditaruh di meja. Biasanya kunci itu diletakan di gantungan kunci yang tinggi sehingga aku tak dapat meraihnya. Namun entah mengapa kunci itu ada di atas meja, mungkin ayah lupa.
           
“Aku bisa saja mengendarai mobil ayah,” pikiran nakal mulai terngiang di kepala.
           
Aku batalkan niatku bermain video game itu, lalu bangkut berdiri dan mengambil kunci itu. Sebelum aku bergegas keluar, kupastikan ibu masih sibuk mencuci. Ibu masih sibuk dan aku pun langsung berlari ke mobil ayah yang diparkir di pinggir sawah. Rumah ayah memang terletak di dalam gang sempit sehingga mobil ayah harus parkir di area lain yang lumayan jauh.
           
Sampai aku di depan mobil ayah, aku terdiam sejenak. Keringat mulai bercucuran karena lelah.
           
“Lumayan juga capeknya kalau lari lari,” gumamku.
           
Aku langsung membuka pintu mobil itu. Dengan bersusah payah aku masuk ke mobil itu dan menutup pintunya. Kutatap setir mobil itu. Ini satu satunya kesempatan besar untuk mengendarai mobil ini. Deg degan sekali rasanya berada disitu. Bukan karena lelah berlari, melainkan karena rasa ingin tahuku untuk mengendarainya menyeruak memenuhi segala pikiranku. Aku biasa mengendarai mobil di video game. Aku yang terbaik dalam hal balap mobil video game sekampung! Aku yakin bisa !
           
Brumm bruumm ...
           
Huhh, lega sekali akhirnya rasa takutku berhasil dikalahkan. Dengan percaya diri kuinjak pedal kopling itu. Kemudian tuas perseneling kumasukan ke gigi satu. Mobil pun bergerak perlahan. Deg degan, takut, senang tak dapat lagi kugambarkan perasaanku. Saat ini aku benar benar bersuka!
           
Mobil itu bergerak satu meter kedepan. Aku langsung menginjak pedal rem dengan keras. Mobil itu berhenti mendadak dan aku terpelanting menuju setir. Kepalaku sakit sedikit namun aku tidak kandas. Aku kembali menginjak pedal kopling dan menarik tuas perseneling ke gigi mundur. Sejenak mobil itu bergerak perlahan. Namun tiba tiba mobil itu loncat dengan kencang ke arah belakang. Aku terpental dan mendarat dengan keras. Takut namun seru juga memainkan mobil ini. Aku langsung mencabut kunci itu dan berlari ke rumah.

Sore ini ayah pulang lebih cepat. Aku langsung menghampiri ayah dan memeluknya erat. Senang rasanya ada ayah di rumah.

“ayah tumben pulang cepet . Andre seneng yahh!”

“iya, ayah kangen nih sama Andre . Hehehe . Nih ayah belikan nasi goreng buatmu dan ibu”

Aku merebut nasi goreng itu dari tangan ayah dan berlari menghampiri ibu. Ayah langsung duduk dan melepas sepatunya juga tas kerjanya. Aku mencari cari ibu ke belakang dan menemuinya di sedang menggosok baju.

“Bu, ayah sudah pulang bu. Kita dapat nasi goreng ! Ayo makan bu, makan !”

“iya, sebentar nih ibu beresin dulu kerjaannya”, beliau langsung merpaihkan tumpukan baju baju itu dan mengikutiku ke ruang makan. Ayah masuk ke kamar mandi sejenak untuk membilas kaki tangannya. Dengan antusias kurapihkan meja makan sambil menyiapkan piring itu.

Tak lama kemudian semua berkumpul bersama. Sebelum makan ayah memimpin doa untuk kami semua. Kemudian tanpa basa basi lagi kusantap nasi goreng kesukaanku.

“Tumben mah pergi naik mobil. Tadi ke mana naik mobil?”

“Nggak ah, aku ga kemana mana kok. Dari tadi pagi di rumah terus kok. Paling tadi siang aku ke rumah Bu Sri arisan sebentar. Iya kan dek?”

“Iya bu”, kujawab dengan mulut masih penuh nasi goreng.

“Lalu siapa yang pakai? Sepertinya posisinya agak miring. Malah mepet sekali dengan sawah, nyaris jeblos lo mah.”

“Oh ya pa? Aku nggak tau lo, mungkin tadi dipinggirin karena nggak muat. Keponakan Pak Riko datang tadi. Mereka dari Semarang naik mobil.”

“Oh, kirain. Hehe”, ayah langsung menyantap makanannya.

Mendengar perbincangan mereka, aku hanya tersenyum kecil. Ingin tertawa rasanya namun justru akan menjadi masalah besar bila aku ketahuan. Claudia pernah cerita kalau temannya juga melakukan hal serupa dengan ku, namun ia ketahuan dan di marahin habis habisan.

Seperti biasa, esok harinya aku mengantar ayah sampai depan rumah. Lalu aku masuk dan menemukan ibu repot dengan mesin jahitnya. Aku bergegas ke meja di ruang televisi untuk mencar kunci mobil itu lagi, namun kali ini aku tak menemukannya di meja itu.  Kecewa rasanya namun tiba tiba aku melihat sebuah kilauan benda logam di kamar ibu. Seperti alat kerjanya ayah yang bentuknya batang besi kecil untuk memutar baut. Aku mendekat karena penasaran. Ternyata sebuah batang besi bergerigi dengan huruf “H” besar di pangkalnya. Kunci mobil ayah !

Aku berlari ke tempat ibu. Kali ini aku ijin untuk bermain agar aku bisa di luar rumah lebih lama. Setelah diijinkan aku langsung bergegas cepat menuju mobil ayah. Riang sekali wajahku sehingga aku dapat melihat senyumku di kaca jendela mobil ayah sambil membuka pintunya. Tanpa basa basi aku langsung duduk dan menyalakan mobil itu. Dengan keberanian yang besar langsung ku masukan perseneling itu dan mobil maju perlahan. Girang sekali aku sehingga aku lupa kalau mobil ini terus berjalan. Aku tak bisa melihat depan begitu jelas sehingga aku maju ke depan mendekati setir bahkan menepelkan tubuhku agar kelihatan. Baru saja bisa melihat jelas, aku kaget karena mobil akan masuk jalan raya yang ramai. Langsung aku turun ke bawah dan menginjak rem. Mobil itu pun meloncat lagi dan kepalaku terbentur sangat keras. Sakit sekali rasanya namun tidak apa apa. Mobil ini sudah maju 10 meter dan cukup mepet dengan sawah. Aku harus mengembalikannya ke posisi semula. Langsung kunyalakan lagi mobil itu dan bergerak mundur ke belakang. Berat sekali setir ayah sampai sampai hampir saja mobil ini terjun ke sawah. Setelah kembali ke posisi semula, aku langsung turun dari mobil, berlari ke rumah dan mengembalikan kunci itu diam diam, lalu pergi bermain ke rumah Claudia. Begitu seterusnya setiap pagi aku mencuri curi untuk menyetir mobil sedan ayah.

Sebulan kemudian aku masih terus melakukan hal yang sama dan ayah tak pernah tahu. Ia selalu berpikiran kalau mobilnya digeser oleh keponakan om Riko. Apalagi karena sudah sering, mobil itu bahkan tak terlihat seperti berpindah. Jalan itu selalu sepi sehingga tak seorang pun pernah melihatku berkendara di mobil ini.

Di pagi hari yang sama ini, aku akan melakukan hal yang sama. Aku nyalakan mobil sedan ayah dan kemudian menjalankannya. Aku mencari tikungan jalan untuk berputar balik. Belum bisa menyetir di jalan raya sehingga aku berputar balik. Namun aku juga tidak akan berputar putar di dekat rumahku. karena kalau ketahuan ibu, aku tidak tahu hukuman macam apa yang akan menimpa. Aku pernah melihatnya marah satu kali saat aku dan Claudia terjatuh dari balkon lantai dua. Dan aku takkan mau melihatnya lagi marah kepadaku , oleh karenanya mobil ini kuarahkan ke RT sebelah. Baru masuk gang pertama, 5 mobil yang parkir di pinggir jalan sudah merintangi kenakalanku ini. Jalan di desa ini kecil apalagi kalau ada yang parkir di pinggir jalan. Ku jalankan mobil ini dengan sangat perlahan. Beruntung kaca mobil ayah kaca film sehingga tak seorang pun sadar adalah anak kecil yang mengendarai mobil ini.Aku berhasil melewati gang sempit ini dan memutari jalan hingga aku kembali ke tempat semula. Seperti biasa, aku turun dengan perasaan gembira.

Esok harinya, hari Minggu. Ayah libur kerja dan ayah mengajakku untuk melihat balap mobil off road. Ayah tahu kalau aku menyukai mobil. Apalagi ayah bilang mobil off road itu bisa loncat loncat. Aku pun menanggapinya dengan gembira.

“Ayo, kalau mau ikut kamu cepat mandi. Ayah akan tunggu di mobil. Mama ikut nggak?”, ajak ayah.

“Nggak ah, aku ntar ada arisan di rumahe bu Grace. Bapak sampai sore ta? Sama Andre saja ya”

“Yo wis lah, aku  berangkat dulu ya ma”, ayah mencium pipi ibu dan kemudian bergegas menyiap mobilnya.

Setelah selesai mandi aku langsung menghampiri ibu untuk pamit, lalu berlari ke mobil ayah yang di parkir di pinggir sawah. Mobil ayah sudah siap dan kami pun langsung berangkat. Sirkuit balapannya ternyata tidak begitu jauh. Kata ayah sekitar 10 km dari rumah kami. Sama saja seperti dari rumahku ke rumah Bibi Emma. Di jalan aku melihat banyak sekali mobil lewat. Jalan raya ini memang paling ramai yang pernah aku lewati. Lalu aku melihat ayah yang sedan menyetir. Aku pun mempelajari caranya menyetir sepanjang perjalanan.

Sesampainya disana, aku langsung turun bersama ayah. Ayah mengajakku untuk melihat lihat mobil off roadnya. Ayah kenal dengan beberapa pembalap di sini. Kata ayah, dulu ayah juga pernah ikut balapan seperti ini. Namun semenjak sahabatnya meninggal dalam tabrakan, ia berhenti balapan karena timnya bangkrut dan tak punya pembalap lagi. Saat ia berbincang dengan teman temannya, ia pun diajak untuk bergabung kembali. Namun ayah menolaknya. Aku kecewa sekali, padahal aku suka ayah jadi pembalap. Aku pun mulai berpikir bahwa aku akan menjadi pembalap andai besar nanti.

Balapannya akan dimulai, ayah mengajakku untuk ke tempat duduk penonton. Dari sini aku bisa melihat mobil mobil besar yang tadi aku lihat. Mobil balap ternyata berisik sekali. Dari kejauhan pun aku masih bisa mendengarnya meraung. Semua mobil itu kemudian berbaris rapi di belakang garis hitam putih kotak kotak. Kata ayah itu namanya garis start dan finish. Balapan dimulai dari garis itu dan diakhiri di garis itu juga. Trek balapannya berlika liku. Bentuknya seperti bukit curam untuk bermain perosotan daun pisang. Bahkan ada yang se-vertikal tembok rumah. Aku membayangkan cara mobil itu melewatinya.

Suara sirine tanda balapan dimulai berbunyi. Semuanya begerak cepat berebut untuk berada di depan. Banyak sekali debu yang beterbangan. Beruntung tempat duduk penontonnya jauh, jadi tidak kena debunya. Di jalan yang sangat curam tadi banyak mobil yang terguling. Kata ayah, sahabatnya meninggal seperti itu kira kira. Tapi aku heran, kenapa tidak ada yang meninggal kali ini?

Balapan itu selesai di sore hari yang indah. Balapannya seru sekali sampai-sampai aku terjatuh saat melompat kegirangan. Dari tempat ini juga aku bisa melihat pembalapnya semua kelelahan. Ayah mengajak turun dari tribun yang tinggi untuk pulang. Tak lupa ayah membeli bakso untuk ibu. Kemudian kami masuk ke mobil dan bergegas pulang. Aku tertidur di jalan karena kelelahan.

Esok harinya aku senang sekali, karena lusa adalah hari ulang tahun ku. Aku bisa memilih hadiah untuk apa yang kumau. Namun lebih dari itu, pagi ini aku bisa menyetir mobil lagi. Ibu selalu sibuk di pagi hari sehingga aku tak perlu lagi jalan jinjit-jinjit agar ketahuan ibu. Santai saja, selama tak ada ayah. Apalagi kata ibu setelah aku ulang tahun di tahun ini, aku akan dimasukkan ke TK. Senang tapi juga sedih. Aku takkan dapat pagi yang kosong lagi untuk bisa menyetir mobil ayah, karena di TK biasanya pulang pada siang hari. Jadi hari ini kupuas puaskan menyetir mobil. Apalagi setelah kemaren melihat ayah menyetir dan juga balapan itu. Aku sangat semangat dan yakin.

Dengan cekatan aku masuk dan menyalakan mobil yang di parkir di pinggir sawah. Kujalankan mobil itu dengan agak cepat. Aku sudah bosan mengitar seluruh gang-gang di RT, sehingga di sebuah pertigaan aku berbelok ke arah rumahku sendiri. Biasanya ibu sangat sibuk dan ayah pasti di kantor, membuatku yakin aman melewati rumahku sendiri. Namun saat aku berjarak 2 rumah dari rumahku, kulihat ada motor dengan box di belakangnya parkir di rumahku. Aku mendekat untuk mengetahuinya. Ternyata hanya tukang pos yang mengantar sesuatu. Sambil terus jalan, tanpa kusadari ada ayah disitu menerima benda dari tukang pos. Aku kaget dan spontan kuhentikan mobilku. Ayah terus melihat ke arah mobil dengan bingung.

“Sia sia saja kalau aku kabur, ayah sudah lihat mobil ini!”, gumamku dalam hati. Aku benar-benar takut saat ini. Habis sudah jika ibu juga tahu. Tapi apa boleh buat, aku turun dan kemudian menghampiri ayah dengan kepala tertunduk. Kubiarkan mobil ayah di tengah jalan dengan pintunya terbuka. Tukang pos itu dan ayah melihat ku dengan sangat terkejut. Seakan akan mereka melihat fenomena alam yang menggemparkan. Mereka tak menyangka yang akan turun dari mobil itu adalah anak kecil.

“Andre? Kamu yang bawa mobil ini?”, tanya ayah dengan nada tinggi.

“Iya yah, ampun yah”, aku tak bisa menahan tangis.

“Yaampun pak, yang bener aja? Itu anak bapak sekecil gini udah nyetir mobil?”, tukang pos itu juga bertanya dengan heran.

“Saya juga baru tahu bang. Maaah, sini maah ! Penting maah !”, ayah memanggil ibu dengan suara keras, tidak seperti biasanya.

“Knapa paak? Kiriman dari bude Esther kenapa?”, tanya ibu tergopoh gopoh.

“Andre bisa nyetir mobil lo mah ! Yaampun ternyata mama yang ngajarin Andre ya selama ini?”, ayah bertanya dengan nada girang. Sementara ibu yang baru sadar Andre bisa menyetir tak bisa berkata kata. Aku tidak tahu apakah mereka marah atau tidak, dan itu sangat membuatku takut.

“Ndre, kamu nyetir mobil ini?”, tanya ibu dengan nada pelan.

“Iya bu, maafin Andre ya buu.”

“Sejak kapan kamu belajar nyetir? Sama siapa?”

“Sejak sebulan yang lalu bu. Pas mobilnya digeser sama keponakan Om Riko. Sebenernya itu karena aku yang nyetir. Andre belajar sendiri bu.”

“Paling jauh kamu kemana? Kamu udah nabrak apa aja Ndre?”

“RT sebelah bu. Belum bu. Belum pernah.”

“Yaampun RT sebelah? Kamu tuh mbok ya jangan bandel ta lee. Kalo kamu tabrakan terus gmana? Kamu masih kecil banget ini ! Kalo terpental bisa terluka kamu ! Kok senengnya bikin orang tua panik terus sih? Dulu jatoh dari balkon sama Claudia, skarang nyetir mobil bapak!”

“Iya bu ampun bu”, aku menangis keras. Tetapi tiba-tiba ibu turun ke sampingku dan memelukku.

“Ya sudah karena nggak kenapa-kenapa, ibu maafkan. Lain kali tuh ngomong dulu dong Andre. Dulu kan ibu pernah bilang, kalau kamu mau main yang berbahaya bilang dulu ke ibu atau ayah. Bukan begini caranya. Jangan diulangi lagi ya.”

“Ibu, Ayah kok nggak marah?”

“Nggak kok. Kalo ayah malah seneng kalo kamu bisa nyetir umur segini. Bahkan kado ayah buat ulang tahunmu nanti, ayah ajari caranya nyetir. Mau ga?”

“Iya yah mau !”, sambil mengusap air mata.

“Tapi lain kali kalo ada hal kaya gini beri tahu orang tua mu dulu ya. Awas kalo nggak. Ayah cabut izin nyetirmu. Minta maaf dulu gih sama Ibu.”

“Bu maafin Andre ya bu”

“Iya dimaafin, lain kali jangan gini lagi ya”, ujar ibu sambil tersenyum kembali.

“iya bu, yah. Makasih ya”, jawabku dengan ceria.

Sejak saat itu ayah dan ibu justru mendukungku untuk belajar menyetir. Apalagi setelah mereka tahu aku bercita cita menjadi pembalap. Kemudia di saat aku kelas 3 SD, ayahku mulai mengajakku untuk ikut lomba balap mobil off road. Berkat kenalan ayah dengan pembalap pembalap itu, ayah menyiapkan untukku tim untuk mendukungku berlomba. Entah kenapa ayah tak pernah tersirat akan trauma mengenai sahabatnya itu. Ibu pun selalu menemaniku berlomba. Aku hampir selalu menuai protes karena terlalu muda. Tapi aku senang bisa meraih cita-citaku sangat dini. Sungguh pengalaman yang luar biasa !

Tiga puluh tahun kemudian aku berada di ruang tamu, sedang berbincang bersama istriku. Aku bercerita kepada Claudia tentang diriku saat masih 5 tahun. Sambil memegang sebuah plakat bertuliskan 'Rekor MURI, Pembalap Termuda dan Berprestasi'. Kulihat di dinding dekat ruang keluarga, sebuah lemari yang penuh dengan piala dan piagam. Sambil tersenyum kuingat-ingat bagaimana aku mengawali semuanya itu dengan mobil honda milik ayah di pinggir sawah. 


Apabila ada kesamaan cerita mohon dimaklumi ..

No comments:

Post a Comment